Gen Super - novelonlinefull.com
You’re read light novel Gen Super 131 Raja Cacing Batu Emas online at NovelOnlineFull.com. Please use the follow button to get notification about the latest chapter next time when you visit NovelOnlineFull.com. Use F11 button to read novel in full-screen(PC only). Drop by anytime you want to read free – fast – latest novel. It’s great if you could leave a comment, share your opinion about the new chapters, new novel with others on the internet. We’ll do our best to bring you the finest, latest novel everyday. Enjoy
Hampir tanpa ragu-ragu, Han Sen berteriak pada w.a.n.g Mengmeng, "Panggil tungganganmu."
w.a.n.g Mengmeng cepat-cepat memanggil beruang putih besar. Han Sen melompat ke atas beruang dan w.a.n.g mendesak beruang untuk berlari dengan kecepatan penuh.
Kawanan rubah mengejar di belakang mereka, tetapi hanya beberapa rubah pasir bertanduk mutan yang bisa mengejar tunggangan mutan tim.
Han Sen menduga kawanan rubah itu akan segera berhenti mengejar mereka, karena rajanya terluka dan tidak dapat mengejar mereka.
Namun, mereka segera mendengar suara lolongan aneh dan apa yang mereka lihat mengejutkan.
Raja rubah berdiri di atas kepala cacing batu emas dan menatap pada Han Sen dengan penuh amarah.
"Persetan! Raja rubah ini aneh. Bagaimana mungkin dia memerintah cacing batu? Apakah cacing batu juga makhluk berdarah sakral?" teriak Su Xiaoqiao.
Tim itu melihat cacing batu emas mendekati mereka dengan kecepatan tinggi dan hampir mendekati.
"Kau ke timur, aku akan ke barat." Han Sen kemudian meminta w.a.n.g Mengmeng untuk mengendalikan beruangnya ke arah barat.
Sekarang w.a.n.g Mengmeng hampir mempercayai Han Sen sepenuhnya dan bahkan tidak berpikir panjang sebelum melakukan apa yang dia katakan.
"Kau harus berhati-hati." Penjudi sudah memahami rencana Han Sen dan memimpin yang lainnya ke arah timur.
Raja rubah memerintahkan cacing batu dan rubah-rubah mutan untuk segera mengejar Han dan w.a.n.g. Rubah tidak pernah lupa. Dia tidak akan menyerah sampai dia berhasil mencabik-cabik Han Sen.
Han Sen telah mengambil kembali ratu peri untuk menghemat kekuatannya. Dia juga telah membuka tali dan mendudukan w.a.n.g di depannya agar w.a.n.g dapat mengendalikan beruang dengan lebih baik.
"Raja rubah, ke sini jika kau ingin memakanku," Han Sen berkata dan tibtiba menembakkan sebuah panah, membunuh seekor rubah mutan dalam sekej.a.p mata.
Raja rubah itu menghentakkan kakinya dengan sangat marah, melonglong di atas kepala cacing batu emas. Cacing itu bergerak lebih cepat.
Para rubah mutan juga berusaha untuk mengejar beruang.
Han Sen menatap raja rubah dan menembak mati seekor lagi rubah mutan.
Melihat raja rubah sudah sangat marah, Han Sen tertawa, "Raja rubah, kejar aku jika kau bersedia, and lihat aku membunuh teman-temanmu."
Tangan Han Sen tidak pernah berhenti, panah penyengat hitam membunuh rubah mutan satu per satu.
"Rubah pasir bertanduk mutan terbunuh. Jiwa binatang rubah pasir bertanduk mutan diperoleh. Makan dagingnya untuk memperoleh nol sampai sepuluh poin geno mutan secara acak."
Tibtiba suara yang berbeda bergema dalam pikiran Han Sen. Dia mendapatkan sebuah jiwa binatang rubah pasir bertanduk mutan.
Raja rubah hampir meledak. Beruang putih adalah tunggangan berdarah sakral, sehingga cacing batu emas tidak dapat mengejar mereka dengan cepat.
Akhirnya, dengan sekali suara lolongan raja rubah, semua rubah mutan berhenti mengejar.
Hanya raja rubah yang terus mengejar dengan tunggangan cacing batu.
Tidak ada rubah mutan yang dapat dibunuhnya lagi, maka Han Sen menjadikan raja rubah sebagai sasaran. Kali ini raja rubah sudah bersiap sedia dan menghindar. Walaupun jaraknya dekat, panah akhirnya mengenai cacing batu emas.
Klang!
Suaranya seperti cacing itu memiliki cangkang yang lebih keras daripada besi. Panah penyengat hitam hanya meninggalkan bercak putih yang hampir tidak terlihat.
Han Sen merasa kaget. "Sudah pasti, cacing batu emas juga seekor makhluk berdarah sakral."
"Kaka khan, sekarang apa yang harus kita lakukan? Beruang putih lebih pelan daripada cacing batu emas. Mereka akan segera terkejar," tanya w.a.n.g Mengmeng, menunggangi beruang.
Dia tidak terdengar ketakutan atau cemas, karena alasan tertentu, dia mempercayai Han Sen selalu dapat mengatasi keadaan.
Dalam usaha melarikan diri yang berbahaya seperti ini, dia bahkan tidak merasa berada dalam krisis.
Walaupun mereka sesekali bertemu dengan beberapa makhluk di hadapan mereka, mereka akan menyebar begitu melihat cacing batu emas. Oleh karena itu mereka tidak menemukan halangan apapun dalam sepanjang perjalanan.
"Cacing batu hanya cepat di gurun. Jika kita dapat keluar dari sini, kita seharusnya dapat menyingkirkannya," Han Sen berpikir dan berkata.
"Tempat ini dikelilingi dengan pasir dan bebatuan. Aku tidak melihat warna lainnya." w.a.n.g Mengmeng melihat ke sekitarnya dan berkata dengan kecewa, "Hanya bukit pasir dan bukit bebatuan."
Mata Han Sen tibtiba bersinar. Menunjuk ke sebuah arah dan berkata, "Pergi ke sana."
w.a.n.g Mengmeng mengikuti perintahnya dan mendesak beruang. Segera dia menemukan bahwa mereka berada pada tebing yang berhadapan dengan sebuah lembah yang dalam. Jalur itu berakhir dan lembah itu sekurang-kurangnya selebar seratus kaki.
"Kakak Han, kita tidak ada jalan lagi!" seru w.a.n.g Mengmeng.
"Pergi ke seberang," Han Sen berkata tanpa ekspresi.
"Tidak, beruang putih tidak dapat melompat begitu jauh," w.a.n.g Mengmeng berkata dengan cepat, melihat beruang putih besar mendekati ujung.
"Percaya padaku. Pergi ke seberang," kata Han Sen dengan tegas, sambil mengarahkan panah ke arah raja rubah.
Mengetahui keputusasaan mereka, raja rubah terlihat kejam dan senang.
"Kakak Han, aku percaya padamu. Menyebrang…" w.a.n.g Mengmeng memerintahkan beruangnya untuk berlari dengan kecepatan penuh ke ujung.
Dengan percaya buta pada Han Sen, w.a.n.g Mengmeng mencoba untuk mewujudkan hal yang tidak mungkin.
Di belakang mereka cacing batu emas semakin dekat dan semakin dekat. Raja rubah mengamati kedua ma.n.u.sia itu dengan kejam.
Mengarahkan panah pada raja rubah, Han Sen tidak menembakkannya.
"Kakak Han!" w.a.n.g Mengmeng berteriak dan menutup matanya ketika beruang putih berlari melewati ujung.
Han Sen akhirnya menembakan panah, melingkarkan lengan di pinggangnya, dan menutup matanya dengan tangan lain, "Ambil kembali beruang putihmu," katanya dengan tenang.